Textbook
Sungai, Kampung, dan Kota
Konsekuensi kota yang tumbuh angkuh oleh proyek-proyek pembangunan adalah mengabaikan kampung-kota sebagai entitas yang lebih awal hadir. Narasi kampung dan sungai yang hari ini kita warisi patah dan tak terkoneksi dengan tapak peradaban yang membentuk kota-sebelumnya. Kampung lalu bergerak otonom bersama memori dan mental warga yang dibentuk oleh lapis-lapis kenangan atas tradisi untuk bertahan di samping derunya kota yang berlari kencang. Anak-anak kota mengalami amnesia yang parah oleh sebab tak adanya pegangan untuk memahami kota mereka, kampung mereka dan hubungan antara keduanya. Berjalan ke kota dari kampung, seperti hendak berkunjung ke kota-kota lainnya: semua seragam, asing dan terburu-buru. Seperti ingin lekas pulang ke rumah dan kampung untuk bisa segera bertegur sapa dengan sesama di pos ronda, buk tempat kumpul, berlarian di gang nan sempit, memasak bersama di teras, bermain layangan di lapangan, hingga menjemur kasur dan cucian di halaman. Sungai-sungai di kampungpun diam membisu: pasrah menjadi halaman belakang kota, jadi tempat mengakumulasikan beban pembangunan kota-terus menerus. Sungai dipaksa semakin menyempit, tak punya ruang karena ditimpa bangunan, trotoar dan jalan raya yang harus dibentuk sebagai sebagai penanda kota. Tumpukan sampah, limbah industri hingga aliran air hujan tak lagi sanggup ditopang oleh sungai-sungai kita hari ini. Kampung dan sungai termarjinalkan oleh kita semua, kampung-kota dan sungai yang dulu pernah membentuk kota kelak akan mengubur kota bersama alam yang tak lestari.
0000005916 | 307.76 KAY s | Library Pusperkim | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain